Presiden Prabowo Ambil Langkah Berani: Abolisi untuk Tom Lembong, Amnesti untuk Hasto sebagai Simbol Pembersihan Hukum dari Tarik Ulur Politik

Bangkalan, 2 Agustus 2025 — Di tengah hiruk-pikuk politik dan sorotan tajam terhadap praktik penegakan hukum di Tanah Air, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengambil langkah konstitusional yang mengundang banyak perhatian. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 Tahun 2025 yang telah mendapat restu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Prabowo secara resmi memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dan amnesti kepada Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Kebijakan ini tidak hanya menandai babak baru dalam sejarah penegakan hukum nasional, namun juga mengandung pesan politik yang kuat yakni bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat kekuasaan.
Rektor Universitas Trunojoyo Madura (UTM) sekaligus Guru Besar Hukum Perundang-Undangan, Prof. Dr. Safi’, SH., MH., menilai bahwa langkah Prabowo ini adalah sinyal keras kepada seluruh penegak hukum di Indonesia mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, kepolisian, hingga pengadilan agar tidak lagi menjadi kepanjangan tangan kekuatan politik tertentu.
“Pak Presiden ingin menyampaikan bahwa ke depan, aparat penegak hukum tidak boleh lagi jadi alat politik. Proses hukum harus steril dari aroma balas dendam atau tekanan kekuasaan,” ujar Prof. Safi’.
Menurutnya, abolisi dan amnesti adalah instrumen yang sah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945. Prabowo, kata dia, tidak hanya menjalankan hak konstitusionalnya, tetapi juga sedang memperbaiki wajah penegakan hukum yang selama ini kerap dipertanyakan independensinya.
Dari kacamata Prof. Safi’, baik kasus Tom Lembong maupun Hasto sejak awal sudah kental dengan nuansa politik. Keduanya diketahui pernah bersuara kritis dan mengambil posisi berseberangan dengan pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Joko Widodo.
“Publik sudah membaca bahwa ini bukan perkara murni hukum. Banyak yang melihat ada nuansa balas dendam kekuasaan. Maka ketika Presiden Prabowo mengambil sikap ini, itu bentuk koreksi sekaligus pelurusan arah,” paparnya.
Keputusan Prabowo sendiri, lanjut Safi’, bukan diambil secara gegabah. Ia menyebut Prabowo justru menunggu proses persidangan tuntas di tingkat pertama sebelum menggunakan hak prerogatifnya. Artinya, langkah ini bukan upaya intervensi hukum, melainkan penegasan arah kebijakan negara setelah melihat hasil dari proses yudisial yang ada.
“Kalau beliau mau, sejak awal bisa saja mengeluarkan keppres. Tapi beliau sabar menunggu pengadilan. Ini menunjukkan bahwa presiden sangat menghormati proses hukum dan putusan pengadilan,” tambahnya.
Saat ditanya mengapa Prabowo mengambil langkah abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto, Prof. Safi’ menjelaskan bahwa ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pertimbangan hukum masing-masing.
Menurutnya, dalam putusan pengadilan terhadap Tom Lembong, tidak ditemukan mens rea (niat jahat) dari mantan menteri tersebut. Artinya, tindakan Tom lebih berkaitan dengan kebijakan politik, bukan tindak pidana yang disengaja.
“Karena tak ada niat jahat, maka yang paling tepat adalah abolisi penghapusan proses hukum. Sedangkan untuk Hasto, meski ada unsur mens rea menurut hakim, prosesnya juga sarat tekanan politik. Maka demi menghormati proses hukum, presiden memilih memberikan amnesti, bukan abolisi,” jelas Safi’.
Terlepas dari berbagai respons yang muncul di tengah masyarakat, baik yang mendukung maupun yang mempertanyakan, Prof. Safi’ menilai langkah ini sebagai terobosan penting dalam merestorasi kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia.
“Ini bukan sekadar pengampunan hukum, tetapi penegasan bahwa presiden punya keberanian mengambil risiko demi mengembalikan hukum ke relnya yakni untuk keadilan, bukan untuk kekuasaan,” tegasnya.
Lebih jauh, Safi’ mengingatkan bahwa Presiden Prabowo melalui langkah ini sedang membangun preseden penting bahwa jika ke depan aparat penegak hukum melenceng dari prinsip keadilan sosial dan mulai beraroma politis, presiden sebagai kepala negara bisa dan berhak untuk menghentikannya.
“Melalui abolisi dan amnesti ini, Pak Prabowo menyampaikan bahwa keadilan sosial harus menjadi pondasi utama hukum di negeri ini,” pungkasnya.