Tangis Tertahan di Ruang Wawancara: Sepenggal Cerita dari Mahasiswa Pejuang Beasiswa UKT UTM

Bangkalan, 31 Juli 2025 — Suara kipas angin memecah keheningan ruang wawancara itu. Satu per satu mahasiswa memasuki ruangan dengan wajah tegang, tangan menggenggam map berisi harapan. Namun di balik tumpukan berkas itu, yang hadir bukan hanya administrasi formal—melainkan kisah-kisah nyata yang menampar kesadaran dan menggugah hati.
Ruang sederhana yang digunakan untuk seleksi beasiswa UKT dari Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) pada semester gasal 2025/2026 itu mendadak berubah menjadi ruang perenungan. Para dosen yang bertugas sebagai pewawancara tak hanya mendengar data, tapi menyimak kehidupan yang penuh perjuangan.
Seorang mahasiswa laki-laki dari jurusan teknik duduk dengan tenang, tapi kata-katanya mengalir seperti luka yang dibuka perlahan. “Saya kerja serabutan, Bu. Jadi ojek kalau sore, kadang ngangkat barang di pasar. Biar bisa bayar kontrakan dan makan,” ucapnya lirih. Ia sempat diam sejenak, menatap meja. “Ibu saya sakit, sudah lama nggak kerja. Bapak meninggal waktu saya SMP.”
Pewawancara dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu hanya bisa mengangguk. Ia tidak ingin menunjukkan air matanya yang sudah menggantung. “Yang saya lihat bukan rasa kasihan,” katanya setelah sesi usai. “Tapi kekuatan luar biasa dari seorang anak muda yang tidak menyerah.”
Di sesi lain, seorang mahasiswi tampak mencatat sesuatu di selembar kertas kecil. Ketika ditanya, ia menjelaskan bahwa dirinya tengah menghitung sisa uang bulanan. “Orangtua saya tidak bisa baca-tulis, Pak. Saya anak pertama, dan satu-satunya yang bisa sekolah tinggi. Saya kuliah karena saya ingin adik-adik saya punya masa depan,” tuturnya sambil menatap lurus.
Cerita demi cerita seperti ini terus mengalir sepanjang proses wawancara. Tak ada naskah dramatis, hanya kejujuran yang polos dan menyayat. Mereka datang bukan untuk mengeluh, tapi berjuang.
Dana beasiswa UKT yang tersedia dari zakat profesi semester ini hanya mampu menutupi sekitar Rp39,5 juta, sementara kebutuhan riil mencapai Rp158,45 juta. Artinya, lebih dari separuh harapan para mahasiswa itu belum bisa terjawab.
Meski begitu, kegiatan ini bukanlah tanpa makna. Di balik keterbatasan, tumbuh kesadaran baru bahwa kampus bukan hanya tempat belajar teori, tapi juga ruang berbagi empati.
“Selama ini kita sibuk membicarakan sistem, regulasi, dan angka,” kata salah satu dosen dari Fakultas Pertanian yang menjadi pewawancara. “Tapi hari ini, kita dihadapkan langsung pada kenyataan bahwa banyak mahasiswa kita yang bertahan hidup dari keajaiban kecil: semangat, kerja keras, dan harapan.”
Peraturan Rektor UTM Nomor 10 Tahun 2025 tentang kewajiban zakat profesi bagi dosen dan tenaga kependidikan awalnya memang mengundang diskusi. Namun bagi mereka yang hadir dan mendengar langsung kisah-kisah ini, semua perdebatan itu seperti menemukan jawabannya sendiri.
“Zakat bukan cuma soal kewajiban agama. Tapi tentang keberpihakan. Tentang menjembatani jurang yang tak terlihat antara mereka yang punya dan mereka yang nyaris tak punya apa-apa,” ujar seorang dosen muda Miftahul Jannah S.E, M.Sc. yang baru pertama kali menjadi pewawancara dalam seleksi ini.
UPZ UTM kini bukan sekadar lembaga pengelola zakat. Ia menjelma menjadi ruang di mana empati ditumbuhkan dan harapan ditanamkan. Di sana, para mahasiswa bukan sekadar nama di formulir, tapi wajah-wajah tangguh yang sedang bertaruh dengan nasib.
Wawancara memang sudah selesai. Tapi gema kisah-kisah itu masih tertinggal di benak para pewawancara. Sebuah pengingat sunyi bahwa di tengah segala kemajuan dan birokrasi, masih ada mahasiswa yang kuliah sambil menahan lapar, menabung demi membeli fotokopi, atau mengorbankan waktu tidurnya demi pekerjaan malam.
“Kalau bukan kita yang membuka jalan, siapa lagi?” tanya salah satu dosen, dengan suara pelan namun pasti.
Dan mungkin, dari ruang sederhana itu, lahirlah satu kesimpulan yang tak tertulis: bahwa zakat bukan hanya menggugurkan kewajiban. Ia menyalakan lilin-lilin kecil di lorong-lorong perjuangan mahasiswa yang sedang mencoba mengubah nasib mereka dengan pendidikan, dan dengan harapan.