Jurus Katak Memanjat Gedung

Oleh:
Surokim As.
Dosen dan Warek 3 Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja Sama Universitas Trunojoyo Madura
Ada cerita menarik tentang pentingnya memiliki daya juang (resiliensi) bagi para alumni dan mahasiswa, khususnya mahasiswa baru di era VUCA zaman now. Era ini ditandai dengan adanya fenomena serba tidak menentu (uncertainty), yang berlangsung cepat, dan cenderung rumit dan kompleks.
Dalam situasi itu banyak ahli mengatakan bahwa daya adaptasi, responsi, dan relevansi menjadi kunci keberhasilan dan lahirnya daya saing.
Kompetisi antarlulusan kian ketat. Tuntutan kapasitas dan kompetensi kian tinggi seiring munculnya standardisasi dalam segala bidang. Penguatan kompetensi mahasiswa menjadi modal berharga dalam konteks tersebut.
Sejauh ini daya kreativitas dan inovasi masih menjadi barang mahal dikalangan mahasiswa. Berbagai giat kompetisi dan inovasi baik nasional maupun internasional yang diikuti mahasiswa Indonesia masih minim.
Demikian halnya hak cipta yang dilahirkan para mahasiswa hingga kini jumlahnya masih sedikit (<3%) jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa yang kuliah.
Mahasiswa memang harus didorong menjadi kreator dan inovator baru. Cara ini merupakan cara progresif meningkatkan kualitas dan mutu lulusan perguruan tinggi (perti).
Disadari upaya revitalisasi hal itu bukan persoalan yang mudah. Sebab hilirisasi dan inovasi kampus juga masih menghadapi tantangan dan problematika pelik pada saat ini di berbagai kampus.
Namun, bukan berarti hal itu tidak mungkin dilakukan. Masih ada peluang dan secercah cerah. Tentu saja harus ada ikhtiar yang sungguh sungguh agar mahasiswa berani dan bisa mencipta sesuatu yang dibutuhkan lingkungannya sebagai upaya mempraktikkan iptek, mengembangan diri dan memberi solusi kepada lingkungan.
Dengan demikian mahasiswa bukan sekadar belajar apa yang sudah ada sebagai best practices, tetapi juga harus bisa mencipta dan menemukan (sebagai kreator dan inventor) guna menaklukkan tantangan masa depan sebagai bekal future practices.
Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut, kemampuan adaptasi dan responsi sebagai kunci menuntut perhatian serius dari para dosen dan pembina agar mahasiswa memiliki kepercayaan diri dan keyakinan kuat bahwa ia memiliki potensi maju dan bisa berkembang kompetitif.
Mahasiswa perlu belajar fokus dan menjadikan energi negatif pesimisme menjadi energi positif yang menghasilkan optimisme baru.
Terkait dengan hal tersebut ada cerita menarik yang saya ambil dari cerita (guyonan) Pak Wamen Diktisaintek Prof Fauzan saat memberi pengarahan kepada para pembina kemahasiswaan di Ibu Kota Nusantara IKN (21/06/2025). Sambil bercanda, ia mengatakan bahwa akhir akhir ini kita banyak menjadi penonton pandu sorak. Banyak diantara kita merasa kalah sebelum bertanding. Banyak diantara kita yang takut mencoba dan takut mengalami kegagalan.
Kita terlalu sering ikut arus dan tergantung pada sorak sorai kerumunan publik hingga kehilangan inisiatif, independensi, kepercayaan diri, dan keberanian untuk mencoba. Kita bahkan sering takut berbeda karena harus ikut arus publik.
Lingkungan tak lagi menjadi penguat optimisme, tetapi kerap beternak pesimisme. Akhirnya, kita mulai kehilangan semangat daya juang karena kena imbas tekanan publik. Kita terlalu over dan sering mendengarkan dan melihat apa yang dikatakan orang lain, bukan karena keyakinan diri. Apalagi di zaman medsos dimana like dan dislike menjadi tolok ukur dan penentu tindakan.
Kita – di zaman now – menjadi barisan penertawa yang menginjeksi energi negatif. Kita terlalu sering melihat dan mendengar pesimisme, cemoohan orang hingga membuat kita memilih jalan aman dan berada dalam zona nyaman menjadi diam dan tidak melakukan apa apa (do nothing).
Kita tidak mampu mencipta dan menghasilkan kreativitas dan inovasi apa-apa. Yang justru kita lakukan hanya mengumpat, mencemooh dan mengecilkan semangat para pejuang kreator dan para inovator peradaban.
Sahdan kata Pak Wamen Fauzan, ada cerita yang linier dengan hal ini yakni tentang kompetisi katak memanjat gedung bertingkat.
Sebagai kompetisi pertama, banyak pemilik katak yang mendaftarkan diri untuk ikut kompetisi ini agar kataknya bisa meraih juara. Akhirnya, perlombaan ini benar benar meriah karena banyak katak yang mengikuti kompetisi ini.
Saat perlombaan berlangung, sebagaimana diprediksi memang banyak katak yang jatuh dan gagal. Mereka tidak berhasil memanjat gedung karena sudah down oleh olok-olok penonton.
Penonton tidak sekalipun menyemangati dan mereka terus membuat down para katak yang ikut perlombaan.
Banyak diantara penonton itu meyakini dan mengatakan bahwa hal itu mustahil dilakukan. Katak katak tersebut tidak mungkin berhasil. Mereka hanya menghayal bisa mencapai puncak gedung. Jika mereka ikut pun pasti mereka akan jatuh dan tidak akan menang, begitu gumam para penonton.
Tepuk tangan pesimis pun bersautan sepanjang lomba. Kata kata dan teriakan jatuh jatuh saat katak mulai memanjat mengiringi lomba.
Singkat kata, ditengah sorak sorai penonton hingga akhir lomba, tidak ada katak yang bisa memanjat gedung tersebut. Hampir semua katak akhirnya jatuh termasuk yang awalnya penuh semangat mengikuti lomba panjat gedung tersebut.
Namun, ada satu katak menurut Pak Wamen Fauzan yang akhirnya bisa memanjat gedung bertingkat dan bisa mencapai finis hingga membuat semua penonton terdiam. Kok bisa, kok bisa begitu gumam para penonton. Katak itu kemudian dikerumuni banyak orang yang ingin mendengar tips bagaimana ceritanya kok bisa memanjat hingga atas.
Nah, usut punya usut ternyata katak yang berhasil tersebut adalah katak yang buta dan tuli. Kata pemilik katak, penonton mau bilang apa saja kataknya jalan terus, tidak memerdulikan lagi. Mereka memiliki prinsip jalan terus, tidak mendengar, dan memperhatikan kata orang. Ibarat pepatah anjing mengonggong kafilah tetap berlalu. Orang mau bilang apa saja the show must go on, maju terus hingga finish.
Nah apa moral cerita dari cerita tersebut? Dalam banyak hal untuk hal baru, ide, gagasan, dan program baru pasti selalu ada yang namanya pro kontra.
Banyak pihak yang akan melemahkan, mencemooh dan pesimis. Apalagi banyak orang yang pada dasarnya ingin melihat kita jatuh dan tidak berhasil menjadi hiburan.
Kita sering jalan ditempat, takut maju karena bayang bayang takut dicaci dan dicemooh orang. Apalagi kalau kita terlalu banyak mendengarkan dan melihat apa kata orang dan tidak mau bekerja keras maka kita akhirnya juga mengikuti arus dan akan mudah menyerah. Kita tidak memiliki kepercayaan diri dan pada akhirnya ikut-ikutan jatuh juga.
Ending dari cerita ini kata Prof Fauzan adalah jika kita memiliki gagasan, ide, ingin mencipta dan menemukan hal baru maka milikilah dan jadilah seperti katak yang buta dan tuli tadi yang terus memanjat gedung hingga akhir.
Cerita ini memang terkesan guyonan, tetapi menarik untuk diambil hikmah bagi kita semua para pengelola pendidikan tinggi. Kita tidak menginginkan mahasiswa kita letoy mudah menyerah dan tidak memiliki daya juang.
Kita ingin mahasiswa kita menjadi petarung andal untuk bisa merebut posisi tertentu didalam dunia kerja. Mereka tidak sekadar menjadi pekerja ansich, tetapi mereka harus didorong untuk mampu menjadi pencipta dan penemu.
Penting bagi pengelola perti untuk memiliki tanggung jawab dan ikut merasakan bagaimana tuntutan dunia usaha dan industri (dudi) terhadap mutu lulusan perti. Kita semua harus bisa menjawab berbagai keluhkan dudi dan orang tua wali. Perti tidak boleh tinggal diam hanya sekadar menciptakan deretan pengangguran baru terdidik di masyarakat kita.
Perti tidak boleh lepasntanggungjawab dan tidak peduli. Perti harus bisa memikirkan apakah produk lulusan nya senantiasa relevan dengan kebutuhan dudi atau tidak.
Dengan demikian perti harus mengambil langkah progresif agar lulusan memiliki dampak, memiliki bekal solutif mencipta sesuai kebutuhan di masyarakat.
Pentingnya semangat dan modal resiliensi
Menarik kembali mencermati hasil riset Stanley terkait 100 faktor sukses. Kita bisa melihat bahwa dari 10 faktor teratas hampir semua adalah persoalan softskill.
Nah perti harus bisa fokus untuk menguatkan energi perubahan tersebut.
Bagaimana kita menguatkan karakter, kompetensi, kapasitas dan literasi agar mereka bisa merubah sesuatu yang tidak ada menjadi ada, yang tidak mungkin menjadi mungkin. Menjadi civitas academica dengan mental katak yang buta dan tuli tadi. Mereka harus dilatih menjadi unggul, tangguh, dan mandiri.
Sudah saatnya perti mencetak lulusan dengan daya juang katak tuli dan buta tadi. Bagaimana agar kita bisa mencetak generasi dengan semangat katak seperti itu. Katak yang memiliki semangat resiliensi tiada henti. Itulah tantangan dan tanggungjawab kita bersama.
Kita diajak berkontemplasi merenung terkait bagaimana pendidikan tinggi indonesia ke depan. Tentang bagaimana menyiapakan mahasiswa unggul, tangguh dan mandiru ke depan.
Membangun ekosistem lulusan yang kompetitif. Mari kita pikirkan mendalam mengapa kampus kita semakin jauh tertinggal. Mengapa banyak lulusan kita tidak kompetitif dan kompeten, tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Ini semua menjadi tanggung jawab kita bersama.
Sejauh ini menurut Prof Fauzan, kampus kita mayoritas masih menyetak sarjana generik. Yakni para sarjana balsem yang bisa dipakai mengobati aneka penyakit segala macam dan belum mampu menjadi sarjana dengan keahlian spesialis.
Tentu saja hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya. Kini, lingkungan masyarakat kita menuntut kompetensi yang lebih spesifik. Sementara kita masih mencetak sarjana generik tampa kompetensi dan standardisasi yang unggul
Kampus Berdampak
Gagasan kampus berdampak menurut saya adalah gagasan lebih maju agar keberadaan kampus dan mahasiswa memiliki kontribusi signifikan bagi lingkungan sekitar.
Mahasiswa harus didorong untuk lebih banyak melakukan riset aksi guna mencari solusi bersama atas berbagai problematika yang dihadapi masyarakat lingkungannya. Dengam demikian mahasiswa bisa menjadi agen perubahan dalam masyarakat dan bangsa.
Hal ini menuntut tanggungjawab perti agar tidak abai terhadap kompetensi dan literasi mahasiswa. Lulusan perti harus terampil dalam iptek sehingga bisa diserap dudi lebih cepat dengan kesejahteraan yang lebih baik.
Seharusnya kita layak sedih kalau ditanya para orang tua. Kuliah disini bisa lulus berapa tahun. Rata rata kita menjawab tergantung anaknya. Kalau pintar bisa 3,5 tahun, tetapi kalau biasa saja bisa 5 tahun atau kalau lemah bisa sampai 14 semester. Ini adalah contoh jawaban nirtanggungjawab perti. Manajemen yang penuh ketidakpastian. Artinya jawaban seolah-olah tergantung pada anaknya dan bukan pada siatem pembinaan dan pengelolaan kampus. Ini adalah fenomena menejemen nirtanggungjawab dan seharusnya hal itu tidak boleh terjadi.
Kita harus bisa mengatakan bahwa kalau kuliah disini maka bisa kita jamin mahasiswa bisa lulus 3,5 sampai 4 tahun. Begitu seharusnya kita menjawab sebagai bentuk tanggung jawab dan keyakinan pengelola.
Kita juga harus bisa memastikan agar lulusan kita siap untuk menjadi kreator dan inovator baru.
Di era seperti ini kita harus bisa meyakinkan kepada stakeholders dan dudi bahwa lulusan perti kita kompeten. Mereka bisa menciptakan dan bisa menjadi inisiator perubahan.
Mereka memiliki spirit belajar tiada henti dan sepanjang masa. Dimanapun mereka harus bisa belajar learning society dengan energi mencipta yang kuat dan berkelanjutan.
Kita harus bisa memberi kerangka berpikir, memotivasi biar mahasiswa memiliki ketahanan dan daya juang belajar mandiri yang hebat.
Saya juga masih ingat apa yang pernah disampaikan Prof Muh Nuh bahwa kampus hebat bukannya kampus yang berderet orang pintar dan kaya, tetapi kampus yang hebat adalah kampus yang bisa menghasilkan lulusan saat masuknya biasa biasa saja, tetapi keluarnya menjadi luar biasa.
Dalam konteks ini mari kita terus jaga imaginasi. Mari terus beride, berkontribusi memberi gagasan dan program baru. Sesekali mari kita membutakan diri, mentulikan diri sehingga tidak terlalu terbebani tekanan dari luar. Kobarkan semangat jalan terus sehingga pada akhirnya kita bisa membuktikan bahwa kita bisa dan menjadi luar biasa.
Selamat datang Maba. Mari memiliki semangat menjadi katak pemanjat gedung.
Kembangkan sikap optimis dan buktikan bahwa anda semua bisa menjadi pembelajar kuat dan pejuang yang pantang menyerah. Mahasiswa pencipta yang memiliki spirit maju dan pantang menyerah. Mahasiswa yang mampu bangkit dan mencoba terus hingga meraih sukses.
Beli baju baru di Madura. Mahasiswa baru harus bisa menjadi luar biasa. Wallahualam bishawab.