Refleksi Hari Buruh: Tantangan Kesejahteraan Pekerja dan Peran Strategis Perguruan Tinggi dalam Mencetak SDM Unggul

Oleh: Ach. Dafid | Editor: Samsuki
trunojoyonews.com. Bangkalan, 1 Mei 2025 — Hari ini, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Buruh Internasional. Sebuah momentum yang bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi panggilan nurani untuk menakar ulang kesejahteraan para pekerja sebagai fondasi utama pembangunan nasional. Di tengah dinamika ekonomi global dan era disrupsi digital, Hari Buruh mengingatkan kita pada nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, dan martabat kemanusiaan yang sering kali terpinggirkan dalam kalkulasi kapitalisme modern.
Setiap tanggal 1 Mei, jalan-jalan di berbagai kota besar dipenuhi dengan suara tuntutan: upah layak, jaminan kerja, hak perlindungan, serta jaminan sosial yang adil. Namun narasi tentang buruh hari ini telah jauh lebih kompleks dari sekadar demonstrasi upah minimum. Para buruh bukan hanya menuntut angka nominal, tetapi kepastian hukum, keseimbangan hidup, serta kesempatan berkembang dalam ekosistem kerja yang sehat dan adaptif. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sekitar 50% lebih dari total pekerja Indonesia masih berada dalam kategori informal (sumber: bps.go.id). Ini berarti sebagian besar buruh masih bekerja tanpa kontrak tetap, tanpa jaminan kesehatan dan pensiun, serta rentan terhadap pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Realitas ini menuntut keberanian dari negara, sektor swasta, dan juga dunia pendidikan untuk mengubah lanskap ketenagakerjaan menjadi lebih adil dan bermartabat.
Di tengah pusaran problematika perburuhan, perguruan tinggi memiliki peran sentral yang tidak bisa diabaikan. Lebih dari sekadar lembaga pencetak gelar akademik, universitas harus menjadi motor perubahan sosial yang mampu menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja secara strategis. Transformasi dunia kerja akibat revolusi industri 4.0 hingga kini memasuki era Society 5.0 menuntut SDM dengan kecakapan baru kognitif, digital, kolaboratif, dan adaptif. Di sinilah posisi perguruan tinggi diuji: apakah mampu melampaui sekadar menghasilkan lulusan, dan mulai secara aktif menghasilkan insan unggul yang siap bekerja, berdaya saing global, serta beretika dalam memperjuangkan haknya di dunia kerja.
Lulusan yang paham teknologi tetapi tidak abai pada hak-hak buruh dan nilai-nilai kemanusiaan adalah kebutuhan zaman. Perguruan tinggi harus menyadari bahwa kampus tidak boleh menjadi menara gading yang terisolasi dari realitas sosial pekerja. Sebaliknya, kampus harus menjadi ruang pembebasan intelektual yang turut memperjuangkan keadilan sosial bagi buruh, baik melalui kajian akademik, riset kebijakan, maupun pengabdian masyarakat.
Beberapa perguruan tinggi di Indonesia mulai menyadari hal ini. Program-program seperti kampus merdeka, inkubasi wirausaha, kuliah kerja nyata berbasis pemberdayaan pekerja lokal, hingga riset kebijakan ketenagakerjaan mulai menjamur. Ini langkah positif, namun belum merata dan belum cukup kuat membentuk kultur akademik yang berpihak pada pekerja. Perguruan tinggi seharusnya aktif menjadi mitra kritis pemerintah dan industri dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan berbasis bukti. Pusat-pusat kajian perburuhan, laboratorium sosiologi kerja, atau klinik hukum ketenagakerjaan bisa dibentuk untuk mengadvokasi hak-hak buruh dan menjembatani dialog konstruktif antara pekerja, pengusaha, dan negara.
Hari Buruh harus menjadi momen reflektif bagi sivitas akademika: apakah kurikulum yang kita ajarkan cukup peka terhadap realitas ketidakadilan sosial di dunia kerja? Apakah mahasiswa kita cukup dibekali kesadaran kritis terhadap ekses eksploitasi tenaga kerja? Apakah penelitian kita hanya fokus pada efisiensi produksi, atau juga mempertimbangkan aspek kesejahteraan pekerja Etika profesi, hukum ketenagakerjaan, studi kesejahteraan sosial, hingga literasi hak-hak pekerja bisa menjadi mata kuliah wajib di berbagai program studi. Ini bukan sekadar pengetahuan, tapi proses pembentukan kesadaran kolektif bahwa dunia kerja yang adil hanya dapat dicapai melalui sinergi antara buruh yang sadar hak, pengusaha yang beretika, dan akademisi yang berkomitmen terhadap keadilan sosial.
Perjuangan buruh bukan isu masa lalu, melainkan persoalan kekinian yang akan terus relevan. Di tengah gemuruh disrupsi digital dan dominasi korporasi global, suara buruh tetap harus nyaring terdengar, bukan untuk mengemis belas kasih, tetapi menuntut hak yang dijanjikan oleh konstitusi dan nilai-nilai luhur Pancasila. Perguruan tinggi, dengan segala perangkat keilmuannya, harus turut berdiri di garis perjuangan ini. Bukan sebagai aktivis jalanan, tapi sebagai pemikir, penggerak, dan pendidik yang mencetak generasi pembaharu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga adil secara sosial. Sebab sejatinya, mencetak SDM unggul bukan hanya soal melatih keterampilan kerja, tapi juga membentuk karakter manusia yang tahu kapan harus bekerja, kapan harus bersuara, dan kapan harus memperjuangkan sesama.
Selamat Hari Buruh 1 Mei 2025.