Menyalakan Lentera Masa Depan, Refleksi Hari Pendidikan Nasional Menuju Indonesia Emas 2045

Penulis: Ach. Dafid | Editor: Samsuki
trunojoyonews.com. Bangkalan, 2 Mei 2025 – Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai penghormatan terhadap Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara. Lebih dari sekadar seremoni tahunan, Hardiknas adalah momen reflektif dan strategis untuk mengukur seberapa jauh kita telah melangkah dalam membangun fondasi pendidikan nasional. Di tengah gempuran globalisasi, revolusi digital, dan tantangan sosial-ekonomi, pendidikan tetap menjadi garda terdepan dalam mewujudkan cita-cita besar: Indonesia Emas 2045. Namun, apakah sistem pendidikan kita saat ini telah cukup kuat untuk menjadi motor penggerak kemajuan bangsa? Apakah kebijakan, kurikulum, dan ekosistem pendukungnya sudah mencerminkan harapan kolektif terhadap generasi masa depan?.
Pendidikan Indonesia telah melewati berbagai fase penting: mulai dari masa penjajahan yang membelenggu akal, era Orde Baru dengan semangat pemerataan, hingga era Reformasi yang membuka ruang inovasi dan demokratisasi pendidikan. Namun, di balik angka-angka statistik tentang peningkatan partisipasi sekolah, angka melek huruf, dan akreditasi institusi, masih tersembunyi jurang ketimpangan dan kualitas yang belum merata. Berbagai evaluasi internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) menempatkan Indonesia pada posisi bawah dalam aspek literasi, numerasi, dan sains. Ini menandakan bahwa persoalan kita bukan sekadar kuantitas, melainkan kualitas pendidikan yang esensial. Lebih dari itu, banyak lulusan yang kesulitan beradaptasi dengan kebutuhan industri atau perubahan zaman.
Pendidikan masa depan menuntut integrasi tiga literasi baru: literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Generasi mendatang harus mampu membaca data, mengolah informasi, serta menggunakan teknologi tidak hanya sebagai alat, tetapi juga sebagai solusi. Lebih penting lagi, pendidikan harus mengembangkan empati, etika, dan kolaborasi lintas budaya kompetensi yang tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan. Sayangnya, sebagian besar kurikulum kita masih terjebak pada hafalan, ulangan, dan standar nilai ujian. Sistem pembelajaran belum sepenuhnya adaptif terhadap kebutuhan anak-anak generasi Z dan Alpha yang tumbuh dengan logika digital dan kecepatan informasi. Maka, reformasi kurikulum tidak boleh berhenti pada nama baru seperti Kurikulum Merdeka, tetapi harus menyentuh filosofi dan praktik pembelajaran sejati: pembelajar aktif, berpikir kritis, dan cinta belajar sepanjang hayat.
Guru adalah aktor sentral dalam transformasi pendidikan. Namun, mereka sering menjadi korban regulasi birokratis, beban administratif, dan tekanan sosial yang berlebihan. Penguatan kompetensi guru bukan hanya melalui pelatihan teknis semata, tetapi juga ekosistem dukungan yang memanusiakan mereka sebagai pendidik dan pembelajar. Kebijakan insentif, penyediaan teknologi, jaringan kolaboratif, serta ruang inovasi di sekolah adalah investasi jangka panjang. Guru tidak boleh hanya dinilai dari angka-angka akreditasi atau pelaporan, melainkan dari dampak nyata yang mereka ciptakan dalam tumbuh kembang anak-anak bangsa.
Pandemi COVID-19 telah mempercepat transformasi digital dalam pendidikan. Platform e-learning, kelas daring, dan integrasi teknologi menjadi arus utama. Namun, digitalisasi juga membuka luka lama: kesenjangan akses, ketimpangan kualitas, dan keterasingan pedagogis di banyak wilayah. Digitalisasi bukan solusi jika tidak dibarengi dengan pemerataan infrastruktur, peningkatan kapasitas digital guru dan siswa, serta konten yang relevan dan kontekstual. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan keberagaman sosial memerlukan pendekatan pendidikan digital yang inklusif dan humanis bukan sekadar seragam nasional.
Indonesia tidak bisa hanya meniru sistem pendidikan negara maju. Kita harus membangun sistem pendidikan yang berakar pada nilai-nilai Pancasila, kearifan lokal, dan semangat gotong royong. Pendidikan berbasis karakter bukan sekadar slogan, tetapi manifestasi dari nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, toleransi, dan tanggung jawab sosial. Di sisi lain, inovasi dalam pendidikan harus menjadi kultur, bukan sekadar proyek. Penelitian di sekolah, proyek komunitas, dan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) harus menjadi praktik harian yang didukung kebijakan. Sekolah sebagai pusat pembelajaran masyarakat harus hidup, terbuka, dan kontekstual.
Indonesia Emas 2045 adalah visi besar yang hanya bisa dicapai melalui pendidikan yang progresif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Tahun tersebut bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia, dan akan menjadi titik balik peradaban jika kita bisa mempersiapkan generasi emas yang cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, dan digital. Pendidikan di masa depan tidak cukup hanya mencetak tenaga kerja, tetapi harus melahirkan pemikir, inovator, dan pemimpin perubahan. Ini hanya bisa terjadi jika seluruh ekosistem pendidikan pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat bergerak dalam satu harmoni tujuan.
Refleksi Hari Pendidikan Nasional bukanlah perenungan nostalgia semata, tetapi panggilan untuk bergerak, berubah, dan berinovasi. Pendidikan adalah hak sekaligus kewajiban kolektif. Ia adalah lentera yang harus terus dijaga nyalanya agar anak-anak Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, tetap memiliki harapan, akses, dan masa depan yang layak. Menuju Indonesia Emas 2045, mari kita jadikan pendidikan sebagai medan juang bersama bukan hanya bagi para pendidik, tetapi bagi seluruh warga bangsa yang mencintai masa depan Indonesia.